Apakah Perempuan Yang Mengandung Bisa Mengalami Haid?
Dalam masalah ini, para ahli fiqih berbeda pendapat.
Ulama madzhab Maliki dan Syafi’i -menurut pendapat madzhab Jadid yang azhhar- mengatakan bahwa perempuan yang mengandung kadang-kadang bisa didatangi haid, dan adakalanya didatangi darah hingga akhir masa mengandung. Namun biasanya, orang yang mengandung tidak didatangi haid. Dalil mereka ialah ayat yang disebut di atas yang bersifat mutlak dan juga hadits-hadits yang menunjukkan bahwa haid itu merupakan tabiat wanita. Apalagi, haid adalah darah yang biasanya keluar secara tiba-tiba. Oleh karena itu, orang hamil (mengandung) pun boleh kedatangan haid sama seperti orang yang tidak hamil.
Ulama madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa perempuan yang mengandung tidak akan didatangi haid, meskipun darah itu keluar sebelum keluar sebagian besar bayi yang lahir. Ini menurut madzhab Hanafi. Dan menurut ulama madzhab Hambali, mereka mengatakan bahwa darah yang keluar pada dua atau tiga hari sebelum bersalin sebelum bersalin ialah darah nifas.
Dalil mereka adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, mengenai tawanan (wanita) Awtas,
لا توطأ حامل حتى تضع ولا غير ذات حمل حتى تحيض
“Jangan disetubuhi wanita yang mengandung sehingga dia melahirkan anak dan janganlah pula disetubuhi wanita yang tidak mengandung sehingga dia telah datang haid”.
Jadi, hadits ini menyatakan bahwa keluarnya darah haid merupakan tanda bersihnya rahim. Hal ini menunjukkan bahwa haid tidak akan dapat bersatu dengan kehamilan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengomentari Ibnu Umar, ketika dia menceraikan istrinya dalam keadaan haid,
ليطلقها طاهراً أو حاملاً
“Hendaklah dia menceraikannya dalam keadaan suci atau hamil”.
Jadi, hadits ini menjelaskan bahwa hamil adalah tanda ketiadaan haid, sebagaimana hadits ini juga menjadikan suci sebagai tanda tiadanya haid. Lagipula, masa mengandung merupakan masa di mana pada kebiasaannya wanita tidak didatangi haid. Oleh karena itu, darah yang didapatinya semasa mengandung bukanlah darah haid. Dalam kasus ini, kedudukannya sama seperti orang yang sudah “putus” dari haid.
Berdasarkan pendapat ini, maka seseorang yang mengandung apabila keluar darah, maka dia tidak boleh meninggalkan sholat, karena ia adalah darah penyakit (fasad) bukan darah haid. Demikian juga dia tidak boleh meninggalkan puasa, i’tikaf, thawaf, dan ibadah lainnya. Dia juga tidak boleh melarang suaminya menyetubuhinya karena ia tidak sedang haid. Wanita yang mengandung dan melihat darah keluar dari kemaluannya, maka ia disunnahkan mandi apabila darah itu berhenti. Ini adalah langkah untuk menghindar dari perbedaan pendapat, utamanya ulama yang mengatakan wajib mandi.
Referensi: Al-Fiqh Al-Islami wa Adlillatuhu, Juz I hal. 457
وهل تحيض الحامل ؟ للفقهاء فيه رأيان
فذهب المالكية، والشافعية في الأظهر الجديد إلى أن الحامل قد تحيض، وقد يعتريها الدم أحياناً ولو في آخر أيام الحمل، والغالب عدم نزول الدم بها، ودليلهم إطلاق الآية السابقة، والأخبار الدالة على أن الحيض من طبيعة المرأة، ولأنه دم صادف عادة، فكان حيضاً كغير الحامل.
وذهب الحنفية والحنابلة إلى أن الحامل لا تحيض، ولو قبل خروج أكثر الولد عند الحنفية، أما عند الحنابلة فما تراه قبل ولادتها بيومين أو ثلاثة، يكون دم نفاس
ودليلهم قول النبي صلّى الله عليه وسلم في سبي أوطاس «لا توطأ حامل حتى تضع، ولا غير ذات حمل حتى تحيض» فجعل وجود الحيض علماً على براءة الرحم، فدل على أنه لا يجتمع معه وقال صلّى الله عليه وسلم في حق ابن عمر ـ لما طلق زوجته وهي حائض ـ «ليطلقها طاهراً، أو حاملاً» فجعل الحمل علماً على عدم الحيض، كما جعل الطهر علماً على انتهاء الحيض، ولأنه زمن لا تعتاد المرأة فيه الحيض غالباً، فلم يكن ما تراه فيه حيضاً كالآيسة. والطب والواقع يؤيد هذا الرأي
وعليه: لا تترك الحامل الصلاة لما تراه من الدم، لأنه دم فساد، لا حيض، كما لا تترك الصوم والاعتكاف والطواف ونحوها من العبادات، ولا يمنع زوجها من وطئها؛ لأنها ليست حائضاً، وتغتسل الحامل إذا رأت دماً زمن حملها عند انقطاعه استحباباً، خروجاً من الخلاف
Wallahu A’lamu Bish-showaab
makasih udah dikasih tau ka..:)
BalasHapusmantep
BalasHapusmantep ...
BalasHapus