Antara Anjuran Dan Larangan Bersiwak
Terdapat sebuah Hadits yang menjelaskan bahwa bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah tergelincirnya matahari adalah makruh. Sementara ada Hadits lain dengan tegas menyatakan, bahwa sunah bersiwak setiap akan melaksakan shalat, tidak terkecuali shalat Zhuhur, dan Ashar.
لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ رواه البخاري
“Bau mulutnya orang yang berpuasa lebih harum dibandingkan harunya minyak misik”. (HR. Al-Bukhari)
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ رواه مسلم
“Seandainya aku tidak khawatir memberatkan kaum mukminin, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak melakukan shalat”. (HR. Muslim)
Dari dua keterangan ini mana yang harus didahulukan?
Jawab: Lebih mendahulukan hukum makruhnya bersiwak. Karena mencegah kerusakan, dalam hal ini menghilangkan bau, lebih diutamakan dari pada menarik pahala.
Referensi: Hasyiyah Al-Jamal, Juz I hal. 119-120
فَإِنْ قُلْتَ يُعَارِضُ هَذَا الْحَدِيثَ الدَّالَّ عَلَى كَرَاهَةِ اِلإِسْتِيَاكِ بَعْدَ الزَّوَالِ اْلأَحَادِيثُ الدَّالَّةُ عَلَى طَلَبِ السِّوَاكِ لِكُلِّ صَلاَةٍ الشَّامِلَةُ لِصَلاَةِ الظُّهْرِ الَّتِي بَعْدَ الزَّوَالِ فَلِمَ قُدِّمَ عَلَيْهَا أُجِيْبَ بِأَنَّهُ قُدِّمَ عَلَيْهَا ِلأَنَّ فِيْهِ دَرْءَ مَفْسَدَةٍ وَهِيَ إزَالَةُ التَّغَيُّرِ وَتِلْكَ اْلأَحَادِيثُ فِيهَا جَلْبُ مَنْفَعَةٍ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ اهـ شَيْخُنَا ح ف اهـ
Wallahu A’lamu Bish-showaab
Sumber: Kang Santri, Menyingkap Problematika Umat, Juz I hal. 31
Kurasa berhubung keduanya benar. Tinggal pendirian masing-masing saja mau pilih yang mana.
BalasHapusTambahan siraman rohani nih. makasih ya..
BalasHapussaya gak berani ngomong masalah agam, dan yang pasti saya belum pernah makai siwak.. Kapan-kapan boleh juga di coba..
BalasHapus